Wednesday, November 24, 2010

Fly High But Down To Earth

Dahulu saya seringkali membayangkan ingin menaiki helikopter. Terbayang sudah enaknya menaiki salah satu burung besi itu, seperti yang saya lihat di film-film. Dan kesempatan itu tiba juga saat beberapa waktu yang lalu, dalam suatu kesempatan melawat ke sebuah pulau di ujung barat Indonesia. Seorang kolega menawarkan tumpangan helikopter dari pangkalan udara Medan menuju langsung ke pulau nol kilometer. Sebenarnya perjalanan kali ini hanya mengantarkan beberapa sahabat dari luar yang ingin mengunjungi Aceh setelah terkena dampak tsunami dan menikmati keindahan koral perairan Sabang.
Kali kedua saya menaiki helikopter ini, saya lebih merasakan sensasinya. Kalau di film-film, menaiki helikopter terlihat sangat enak kan? Tapi ternyata sungguh berbeda.  Ruangannya kecil dan kurang nyaman, tidak seperti di pesawat komersial yang nyaman. Untuk berbicara pun harus pakai alat pendengar di telinga, karena memang benar-benar bising. Telinga saya pun masih terasa aneh beberapa saat setelah mendarat. Gak ada pula cabin crew yang siap melayani kita. Tapi perlu diingat untuk jangan membandingkan dengan pesawat komersial perintis, seperti yang saya temui di wilayah timur Indonesia. Menumpang pesawat di sana bisa sama rasanya dengan menaiki bajaj “dugem” a.k.a duduk gemetar ataupun sama dengan naik kopaja jurusan Blok M – Tanah Abang.
Kembali ke helikopter, ternyata pula waktu penerbangan lebih lama karena memang gak bisa terbang cepat. Dan yang lebih gak enak adalah "menakutkan" karena bisa langsung melihat bumi dari atas. Maklum, terbangnya gak terlalu tinggi seperti pesawat komersial. Masih ada lagi! Getarannya keras karena kecil dan karena itu pula gampang oleng tertiup angin ke kiri dan ke kanan.
Kata orang yang lebih mahfum aviasi, helikopter itu "lebih bahaya" dari pada pesawat biasa. Paling tidak, itulah yang saya rasakan ketika saya naik helikopter.
Tetapi ada beberapa hal yang membuat saya tertegun sejenak, yaitu indahnya pemandangan dari atas. Yeah, it looks different when you see it from the sky. Jadi teringat Helicopter View-nya Pak Hermawan bahwa menjadi seorang pemimpin (red_leader) itu memang harus bersifat wide, imaginative dan abstract. Wide karena dari atas kita bisa punya bigger picture dari "bisnis" kita ketimbang kalau kita ada di bawah. Sengaja terselip kata bisnis karena pada akhirnya semua yang dilakukan adalah transaksional dengan tujuan bagaiamana setiap makhluk yang hidup dan mengambil manfaat dari bumi ini bisa hidup dengan layak. Imaginative karena disitulah kita mendapatkan kesempatan untuk bermimpi tentang "bisnis" kita. Dan yang terakhir, abstrak karena suatu strategi yang dibayangkan untuk mencapai tujuan belum menjadi konkret sebelum dilaksanakan.
Tapi, apakah itu cukup?
Pasti tidak! Karena seorang pemimpin itu juga harus 'membumi". Harus bisa down to earth yang sifatnya detail, realistic dan concrete. Detail artinya memang tidak boleh cuma global. Semua sumber daya yang dipunyai harus didedah dan diberdayakan, diurai sampai detail. Realistis artinya bukan sekedar imajinasi yang tak ada tepian dan arahnya. Serta konkrit, maksudnya harus ada rencana yang nyata. Ingat bahwa semua kelihatan indah dari atas dan gampang dicapai, tapi menjadi tidak mudah ketika menghadapi kenyataan. Jadi, siapkah menjadi seorang pemimpin?

No comments:

Post a Comment