Sudah sepuluh menit Lanang berdiri di depan kuburan itu. Kuburan yang tanahnya masih merah. Dengan nisan hitam yang menghias dalam diam. Lanang tidak peduli akan sekitar yang tampak seperti murka. Ketika angin menderu menerbangkan topinya, ketika tubuhnya basah kuyup tidak sanggup melarikan diri dari hujan yang begitu lebat. Petir menyambar-nyambar seperti dekat diatas kepala. Lanang benar-benar tidak peduli akan semuanya. Lanang tampak tenggelam dalam dunianya sendiri. Dunia yang terpisah dari kenyataan. Dunia yang entah dimana. Terasa ada aroma kelam.
Mata Lanang menatap nama yang tertulis dengan cat putih hampir kelabu di nisan hitam. Sebuah nama yang hampir merenggut semua kesadarannya. Nama yang menyeretnya tenggelam di dunia lain itu. Nama yang diharapnya salah tertulis. Ah… setelah dua tahun menguatkan diri dalam penderitaan sebagai orang pelarian. Memupuk terus harapan hidup untuk hari ini. Hari dimana akhirnya bisa memberanikan diri pulang demi menumpahkan rindu dendam yang selama ini menyiksanya.
Kerinduan yang sudah tidak tertahan lagi. Namun ternyata tidak ada sambutan untuk segala kerinduannya. Tidak ada sosok perempuan yang terus hadir dalam mimpi-mimpinya. Akhirnya hanya disambut oleh diamnya suasana di kuburan sore yang bagai malam. Hanya guyuran hujan dan sambaran petir yang menemani. Juga angin yang tidak mau ketinggalan. Badai yang tanpa belas kasihan pada kesedihan Lanang. Badai menyapa bumi tanpa pandang bulu. Tidak peduli senang dan sedih.
” Mengapa?!! ” gemetar bibir Lanang mendesiskan protes yang tertahan tanpa mampu mengalahkan suara badai yang makin menggila.
Protes yang terpendam sejak tadi. Sejak dia ada di depan nisan hitam itu. Di tanah merah tempat yang mengubur kenangan dan kerinduannya. Sebuah protes yang tercetus tanpa tahu entah ditujukan pada siapa. Ataukah ditujukan pada Tuhan? Entahlah.
Kaki Lanang akhirnya sudah tidak kuat menopang tubuhnya. Yang tampak sudah begitu kuyu tanpa cahaya hidup. Berlutut. Tertumpah tangis yang telah lama ditahan. Tumpah tanpa ada lagi yang menghalangi. Tumpah mengalahkan hujan yang dari langit membadai bumi. Dalam kerinduan yang menyesakkan jiwa. Kerinduan yang tidak akan pernah dapat menemukan tempat melabuhkannya.
Nisan hitam itu tampak dingin, hanya diam. Tidak bisa sedikitpun menjawab kerinduan Lanang. Duka menggelayut di udara. Menyesakkan. Hujan tanpa henti terus membasahi bumi. Lanang tampak tenggelam dalam dunia lain. Dunia kenangan.
No comments:
Post a Comment