Verona, the city of Romeo & Juliette |
Makna enterpreneurship memang tidak harus selalu diterjemahkan jadi "pengusaha". Bahkan ada suatu riset yang menemukan bahwa orang yang mulai usaha tanpa persiapan yang matang akan gagal. Sudah banyak contohnya. Seorang eksekutif yang hebat dari sebuah BUMN berskala besar gagal setelah kerja sendiri. Ketika kerja di suatu perusahaan sebagai professional, seorang eksekutif hanya ngurusin bidangnya. Yang penting KPI atau Key Performance Index harus diperhatikan. Sebab disitulah dia dinilai, dievaluasi, dipromosi, dan sebagainya.
Biasanya gak peduli dengan fungsi lain. Bahkan seringkali saling menjatuhkan untuk 'naik" ke tangga yang lebih tinggi yang lebih menyempit jalannya. Yang penting bisa memanajemeni atas, bawah dan samping. sengaja menyebutkan kata atas pertama kali karena banyak eksekutif yang pintar "manage his or her boss" tapi lupa bawah. Bila perlu diinjak sekalian.
Memanajemeni tengah atau "managing peers" dari teman-teman selevel. Baru setelah itu memanajemeni anak buah. Padahal mestinya yang bawah ini yang harus dilakukan dengan baik dulu. Baru ke tengah dan ke atas. Tapi gerakan "menjilat ke atas" dan "menginjak ke bawah"lah yang sering kejadian.
Kalau bawahan salah, dia laporkan ke atas, sebelum dia disalahkan. Padahal, dia mestinya yang bertanggung jawab. Sedangkan kalau bawahan bagus, dia yang "take credit" di mata atasan. Padahal dia harus "melaporkannya" dengan fair ke atas.
Itulah sebagian kecil dari office politics di dalam korporasi apa pun. Karena suatu organisasi isinya manusia yang punya berbagai "hidden agenda", maka office politics tidak terhindarkan. Yang ada cuma perbedaan kadarnya.
Ada yang kadarnya gede, ada yang kecil. Susahnya kalau seorang eksekutif lebih bertindak sebagai seorang "pemain' dari pada "proffesional". Kalau sudah begini ya memang susah untuk menumbuhkan enterpreunership. Caranya?
Diberi kebebasan untuk melakukan apa saja. Asal niatnya baik dan mencapai target. "Anggap aja kita yang punya korporasi ini". Tentunya tidak mudah, ketika kita yang biasanya jadi pemain atau paling banter jadi profesional. Now, you are above the politics. Kita ada di atas corporate politics itu. Tidak usah menjilat ke atas lagi. Karena tidak ada gunanya. Karena itu, "terpaksa" harus fokus pada "managing your people". Hambatan lain dari seorang ex-profesional jadi enterpreneur ialah tidak biasa "terbebas dari situasi". Dalam hal ini, saya suka merefer pada habit pertamanya Stephen Covey dalam Seven Habit yaitu Pro-Activity!
Banyak orang mengira bahwa proaktif artinya melakukan sesuatu sebelum kejadian apa-apa. Proaktif bukan lawan dari reaktif yang pas. Proaktif lebih punya arti bahwa kita bisa membebaskan diri dari tekanan situasi atau lingkungan hidup atau kerja. Seorang profesional apalagi pemain tidak berlatih untuk itu. Sedang enterpreuner bisa mengatasi situasi sejelek apapun. Sebab dia tahu, bahwa kalau dia tidak bisa 'on-loop of situation', dia akan habis!
Yang terakhir adalah target. Kenapa seorang enterpreneur harus merefer pada target? Karena dia bisa memasang targetnya sendiri. Bukan target dari 'langit'. Sedang seorang profesional sering tertekan dengan target yang dibuat atasan walaupun sudah disetujuinya karena tidak merasa meng-inisiatidnya!
Jadi, enterpreneur bukan berarti harus buka usaha sendiri. Kita bisa jadi enterpreneur di sebuah korporasi asal kita bisa dan diberi kesempatan untuk tiga hal. Pertama, bisa menempatkan diri "above corporate politics", kedua bisa Pro-active bukan reactive. Dan ketiga, bisa menetapkan target sendiri seolah memiliki korporasi itu sendiri.
Yang terakhir, sebagai tambahan bahwa siapapun dia, apapun jabatannya sesungguhnya memiliki 3 tugas. Pertama, menguasai pekerjaan dan menyempurnakan pekerjaan masing-masing. Kedua, mempersiapkan diri untuk jabatan yang lebih tinggi dengan menambah pengetahuan baru. Ketiga, menyiapkan pengganti untuk dirinya bila kelak dipromosi.
No comments:
Post a Comment